Posted in

Usut kematian 10 warga terkait unjuk rasa, bebaskan aktivis HAM Delpedro dkk dan hentikan praktik otoriter atas unjuk rasa • Amnesty International Indonesia

## Represi Negara terhadap Aktivis dan Demonstran: Amnesty International Indonesia Kecam Keras Kekerasan dan Penangkapan Sejumlah Aktivis

Amnesty International Indonesia (AI Indonesia) mengecam keras tindakan represif aparat keamanan terhadap para aktivis dan demonstran yang terjadi belakangan ini. Meningkatnya jumlah korban jiwa dalam demonstrasi, penangkapan sewenang-wenang terhadap sejumlah aktivis hak asasi manusia (HAM), serta penggunaan gas air mata yang membahayakan di sekitar kampus-kampus di Bandung, menjadi bukti nyata pemerintah memilih pendekatan otoriter dan represif, alih-alih demokratis dan persuasif.

Direktur Eksekutif AI Indonesia, Usman Hamid, menyatakan keprihatinannya yang mendalam atas situasi tersebut. “Kami sangat menyesalkan peningkatan jumlah korban jiwa dalam aksi unjuk rasa pekan lalu. Penangkapan Delpedro Marhaen di Jakarta, Khariq Anhar di Banten, Syahdan Husein di Bali, dan dua pendamping hukum dari YLBHI di Manado dan Samarinda, merupakan tindakan yang tidak dapat ditoleransi,” tegas Usman. Ia menambahkan bahwa munculnya imbauan untuk membentuk Pam Swakarsa, yang potensinya memicu konflik horizontal di masyarakat, semakin mempertegas kecenderungan negara untuk menggunakan pendekatan yang represif.

Usman Hamid menekankan bahwa penggunaan pasal-pasal karet untuk membungkam kritik merupakan praktik yang harus segera dihentikan. “Tuduhan-tuduhan yang dilayangkan menggunakan pasal-pasal karet ini hanya bertujuan untuk membatasi kebebasan berekspresi dan hak untuk menyampaikan pendapat,” ujarnya. AI Indonesia mendesak pemerintah untuk segera membebaskan Delpedro, Syahdan, Khariq, dan ratusan demonstran lainnya yang ditangkap sejak 25 Agustus 2025 karena menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah.

**Penembakan Gas Air Mata di Kampus dan Penangkapan Aktivis: Pelanggaran HAM Berat**

AI Indonesia mengecam keras penembakan gas air mata ke arah Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Pasundan (Unpas) pada Selasa dini hari, 2 September 2025. Kedua kampus tersebut diketahui digunakan sebagai posko medis bagi para demonstran yang menjadi korban kekerasan. “Penembakan gas air mata ke area kampus yang dipenuhi warga sipil merupakan tindakan yang sangat berbahaya dan melanggar hak asasi manusia,” ujar Usman. Ia mengingatkan tragedi Kanjuruhan, dan menekankan bahwa penggunaan gas air mata secara berlebihan dapat mengakibatkan luka fatal bahkan kematian.

AI Indonesia juga menyoroti sejumlah kasus penangkapan aktivis HAM yang terjadi dalam beberapa hari terakhir. Berikut beberapa detail kasus yang disorot:

* **Penangkapan Delpedro Marhaen:** Direktur Eksekutif Lokataru Foundation ini ditangkap paksa di rumahnya sekaligus kantor Lokataru di Jakarta Timur pada Senin malam, 1 September 2025. Penangkapan dilakukan oleh delapan aparat Polda Metro Jaya tanpa surat perintah penggeledahan yang sah. Polisi juga diduga merusak kamera CCTV kantor. Delpedro kemudian dijerat dengan pasal-pasal yang dinilai kontroversial, termasuk Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, Pasal 15, 76 H, dan 87 UU Perlindungan Anak, serta Pasal 28 ayat (3) UU ITE.

* **Penangkapan Khariq Anhar:** Mahasiswa Universitas Riau ini ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta pada Jumat, 29 Agustus 2025, terkait unggahan di media sosial. TAUD melaporkan penangkapan dilakukan tanpa prosedur yang sah dan diduga disertai kekerasan. Khariq dijerat dengan Pasal 32 ayat (1), Pasal 32 ayat (2), dan Pasal 35 UU ITE.

* **Penangkapan Syahdan Husein:** Aktivis Gejayan Memanggil ini dilaporkan ditangkap oleh Polda Bali, namun pihak Polda Bali membantah kabar tersebut.

* **Penangkapan Dua Pendamping Hukum YLBHI:** YLBHI melaporkan penangkapan dua pendamping hukumnya di Manado dan Samarinda yang memberikan bantuan hukum kepada demonstran. Satu aktivis dibebaskan dengan syarat, sementara Polresta Manado membantah kabar penangkapan.

**Desakan Investigasi Independen dan Penghentian Pelabelan Negatif**

AI Indonesia mendesak pemerintah untuk melakukan investigasi independen atas kematian sepuluh warga sipil selama aksi unjuk rasa, dengan melibatkan tokoh-tokoh dan unsur masyarakat yang memiliki integritas dan keahlian. Komnas HAM juga harus segera melakukan penyelidikan projustiti untuk memastikan keadilan bagi para korban. Kerjasama penuh pemerintah dengan Komnas HAM sangat penting dalam memastikan para pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban.

Usman Hamid mengkritik pernyataan Presiden yang mencap para demonstran dengan label “anarkis”, “makar”, atau “teroris”. “Alih-alih mengevaluasi kebijakan sosial dan ekonomi yang merugikan masyarakat dan memastikan akuntabilitas polisi, Presiden justru mengeluarkan pernyataan yang justru memicu eskalasi,” katanya. Ia menegaskan bahwa kepolisian berwenang menindak pidana, namun harus tetap berpegang teguh pada prinsip HAM. Pelabelan negatif tersebut berpotensi mengeskalasi pendekatan keamanan dan membenarkan penggunaan kekuatan yang lebih represif dan berlebihan.

“Negara harus hadir secara manusiawi, mendengarkan tuntutan warga, menghormati kebebasan berekspresi, dan menegakkan hukum secara adil,” tutup Usman Hamid. Pernyataan Presiden tentang penghormatan terhadap kebebasan menyampaikan pendapat menjadi slogan kosong jika praktik otoriter dan pelanggaran HAM terus terjadi. AI Indonesia menyerukan penghentian segera tindakan represif dan penegakan hukum yang berkeadilan.

**Keywords:** Amnesty International Indonesia, pelanggaran HAM, demonstrasi, penangkapan aktivis, gas air mata, Unisba, Unpas, Delpedro Marhaen, Khariq Anhar, Syahdan Husein, YLBHI, investigasi independen, Komnas HAM, kebebasan berekspresi, otoritarianisme, Pam Swakarsa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *