## Polemik Pemotongan Anggaran RAPBN 2025: Menteri Protes, Sri Mulyani Dihujani Kritik
Nama Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mendominasi perbincangan di Gedung DPR selama sepekan terakhir. Hal ini tak lepas dari kontroversi pemotongan pagu indikatif anggaran pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, yang memicu gelombang protes keras dari berbagai kementerian dan lembaga. Hampir seluruh kementerian/lembaga (K/L) mengalami pemangkasan anggaran yang signifikan dalam RAPBN 2025, atau yang lebih dikenal sebagai APBN Transisi pemerintahan Joko Widodo menuju pemerintahan Prabowo Subianto. Pemotongan ini memicu pertanyaan besar mengenai dampaknya terhadap program dan target kinerja masing-masing kementerian.
Salah satu kritik paling tajam datang dari Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia. Beliau mengecam keras pemotongan pagu indikatif Kementerian Investasi hingga hampir separuh, dari Rp 1,2 triliun pada tahun 2024 menjadi hanya Rp 681 miliar di tahun 2025. Pemangkasan ini dianggap kontradiktif dengan target investasi yang justru dinaikkan, dari Rp 1.650 triliun di tahun 2024 menjadi Rp 1.850 triliun hingga Rp 1.900 triliun di tahun 2025.
“Bagaimana mungkin target investasi dinaikkan, tetapi anggarannya malah diturunkan? Bahkan anggaran camat di DKI Jakarta saja lebih besar dari ini,” tegas Bahlil dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR. Beliau mengungkapkan kekecewaannya, mengingat selama ini anggaran Kementerian Investasi selalu selaras dengan target kinerja. Pada tahun 2023, dengan target investasi Rp 1.400 triliun, anggaran yang diberikan mencapai Rp 1,2 triliun. Pemotongan 44 persen kali ini dianggap tidak adil dan menghambat pencapaian target. Bahlil bahkan meminta DPR untuk memanggil Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas untuk memberikan penjelasan. Ia bahkan mengancam akan merevisi target investasi menjadi Rp 800 triliun jika anggaran tetap tidak dinaikkan.
Kekecewaan serupa juga diungkapkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR), Agus Harimurti Yudhoyono. Dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR, beliau mengeluhkan penurunan anggaran kementeriannya dari Rp 7,2 triliun pada 2024 menjadi Rp 6,4 triliun di tahun 2025. Angka tersebut jauh dari usulan awal sebesar Rp 14 triliun. Agus mengaku merasa sungkan untuk meminta tambahan anggaran kepada Menteri Keuangan, namun di hadapan Komisi II DPR, beliau meminta agar anggarannya setidaknya disamakan dengan anggaran tahun 2023 atau 2024.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Mikro, Teten Masduki, juga bernasib serupa. Pagu indikatif kementeriannya turun 37,4 persen menjadi Rp 937 miliar, dibandingkan anggaran tahun 2024 yang mencapai Rp 1,49 triliun. Teten bahkan telah melayangkan surat kepada Sri Mulyani untuk meminta penambahan anggaran sebesar Rp 665 miliar.
Situasi serupa juga terjadi di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang mengalami pemotongan 52 persen (dari Rp 157,73 triliun menjadi Rp 75,63 triliun) dan Kementerian Perhubungan yang mengalami pemotongan 35 persen (dari Rp 42,59 triliun menjadi Rp 24 triliun).
Ironisnya, di tengah pemotongan anggaran yang massif di berbagai K/L, pagu indikatif Kementerian Keuangan justru naik 10 persen, dari Rp 48,35 triliun pada 2024 menjadi Rp 53,19 triliun. Hal ini memicu reaksi keras dari Komisi XI DPR yang menilai kebijakan tersebut tidak adil dan inkonsisten. Wakil Ketua Komisi XI DPR, Dolfie Othniel Frederic Palit, bahkan sempat menolak anggaran tersebut, menekankan perlunya Kemenkeu menerapkan prinsip efisiensi yang sama seperti K/L lainnya. Setelah perdebatan sengit dengan Sri Mulyani yang menjelaskan kebutuhan anggaran untuk sistem Coretax Administration System (CTAS), akhirnya Dolfie menyetujui anggaran tersebut dengan catatan Kemenkeu tetap memperhatikan asas efisiensi dan kemampuan keuangan negara.
DPR menilai pemotongan anggaran yang signifikan ini sebagai konsekuensi transisi pemerintahan. Anggota Komisi VI DPR, Jon Erizal, mengungkapkan kekhawatiran akan dampak negatif pemotongan anggaran terhadap pasar, mengingat adanya indikasi pengalihan anggaran untuk pemerintahan baru. Praktik serupa pernah terjadi pada APBN 2015, dimana anggaran K/L diturunkan dengan acuan anggaran baseline untuk memberikan ruang gerak bagi pemerintahan baru.
Para ahli ekonomi pun memberikan pandangannya. Nailul Huda dari Celios menilai pemotongan anggaran tersebut wajar mengingat kondisi ekonomi yang tidak menentu dan kebutuhan tinggi untuk program pemerintahan terpilih, seperti program makan bergizi gratis dan pembangunan IKN. Senada, Tauhid Ahmad dari Indef menyebutnya sebagai strategi untuk menciptakan fleksibilitas anggaran bagi program presiden terpilih, dengan asumsi belanja APBN akan tetap membesar sesuai target defisit.
Polemik pemotongan anggaran ini menyoroti tantangan pengelolaan keuangan negara di masa transisi pemerintahan dan perlunya transparansi serta perencanaan yang matang dalam pengalokasian anggaran agar program pembangunan nasional tetap berjalan efektif dan efisien.
**Kata Kunci:** RAPBN 2025, APBN Transisi, Pemotongan Anggaran, Sri Mulyani, Bahlil Lahadalia, Kementerian Investasi, DPR, Efisiensi Anggaran, Penghematan, Ibu Kota Nusantara (IKN), Defisit Anggaran.